Kangnanan.com – Dalam fenomena politik kontemporer, bahasa memiliki peran yang sangat signifikan sebagai alat kekuasaan dan persuasi. Dari sudut pandang sosiolinguistik, bahasa dalam politik bukan sekadar alat komunikasi, melainkan senjata yang dipakai untuk membentuk persepsi, menciptakan narasi, dan memengaruhi perilaku masyarakat. Melalui bahasa, para aktor politik membingkai berbagai isu dan agenda sesuai dengan kepentingan mereka. Pilihan kata yang digunakan dalam pidato, kampanye, atau debat politik sering kali dirancang untuk membangun citra yang diinginkan, baik untuk memperkuat posisi politikus atau untuk melemahkan lawan politiknya.
Hingar bingar kepolitikan nasional maupun regional telah menampakkan diri sebagai ranah perang ‘bahasa’, pertarungan ‘diksi’ yang menjurus pada pembunuhan karakter lawan politik. Pertarungan itu tentu memiliki target utama bagaimana persepsi public dapat digiring sesuai dengan stereotipe yang dibentuk oleh penyerang. Pertempuran gagasan sering didominasi oleh narasi-narasi artifisial yang menjatuhkan lawan, dan mengakibatkan kehabisan akal jika tidak memiliki counter seimbang.
Banyak diksi yang dapat kita baca dan lihat, misalnya, penggunaan kata-kata “perubahan”, “kemajuan”, “reformasi” sering kali dimanfaatkan untuk memberi kesan positif terhadap sebuah kebijakan atau program tertentu. Sebaliknya, istilah-istilah seperti “ancaman”, “kegagalan”, atau “bahaya” digunakan untuk menggambarkan kebijakan lawan politik dalam konteks yang negatif. Ini menunjukkan bahwa bahasa tidak hanya menjadi alat untuk menyampaikan pesan, tetapi juga sarana untuk menciptakan opini publik yang menguntungkan pihak tertentu. Dalam konteks sosiolinguistik, kita dapat memahami bagaimana kekuasaan diekspresikan dan dipertahankan melalui pilihan kata dan konstruksi wacana.
Peran bahasa dalam politik semakin terlihat nyata dalam kampanye digital, terutama di media sosial. Dalam era ini, kampanye politik tidak lagi terbatas pada media tradisional seperti televisi atau koran, melainkan telah meluas ke platform digital di mana pesan disebarkan dengan cepat dan luas. Bahasa yang digunakan dalam kampanye media sosial biasanya sederhana dan mudah diingat. Slogan politik, tagar, dan meme menjadi alat efektif untuk menarik perhatian pemilih, terutama dari kalangan muda. Bahasa disederhanakan sedemikian rupa agar lebih cepat viral dan dapat menjangkau audiens yang lebih luas. Dalam konteks ini, bahasa menjadi alat untuk memproduksi dan menyebarluaskan ideologi politik dalam waktu yang singkat.
Dalam kacamata sosiolinguistik juga, kita dapat melihat bagaimana bahasa digunakan untuk menciptakan dan memperkuat identitas politik. Kelompok-kelompok politik tertentu sering kali menggunakan istilah atau jargon khas untuk membedakan diri mereka dari yang lain. Misalnya, istilah-istilah seperti “pembela rakyat”, “berjuang bersama rakyat”, “bekerja untuk rakyat” dan simbol lainnya dapat menjadi simbol yang memperkuat solidaritas internal suatu kelompok. Di sini, bahasa digunakan untuk membangun identitas kolektif dan menciptakan batas antara “kami” dan “mereka”. Identitas politik ini, yang dikonstruksi melalui bahasa, dapat menjadi alat untuk memperkuat dukungan sekaligus menciptakan jarak dengan kelompok lain.
Fenomena lain yang muncul dalam politik modern adalah penyebaran hoaks dan disinformasi. Dalam konteks ini, bahasa digunakan untuk memanipulasi fakta dan menciptakan kebingungan di masyarakat. Berita palsu atau informasi yang sengaja diselewengkan sering kali dirancang untuk menyebarkan ketakutan, keraguan, atau bahkan kemarahan, dengan tujuan meraih keuntungan politik. Sosiolinguistik membantu kita memahami bagaimana bahasa dalam bentuk disinformasi dapat merusak kohesi sosial dan memperkeruh suasana politik.
Selain itu, dalam negara multibahasa seperti Indonesia, bahasa politik sering kali melibatkan pemanfaatan bahasa daerah untuk menarik simpati pemilih di wilayah tertentu. Penggunaan bahasa lokal dalam kampanye politik bisa menjadi strategi untuk menunjukkan kedekatan dengan masyarakat setempat dan menampilkan kesan bahwa politikus tersebut memahami budaya dan kebutuhan mereka. Namun, di sisi lain, penggunaan bahasa daerah secara berlebihan juga dapat menciptakan kesan fragmentasi identitas nasional dan memperkuat perbedaan etnis. Di sini, politik bahasa menjadi isu yang kompleks karena melibatkan upaya untuk menyatukan atau memecah masyarakat berdasarkan identitas linguistik.
Pengaruh globalisasi juga berdampak pada bahasa yang digunakan dalam wacana politik. Istilah-istilah asing, terutama dari bahasa Inggris, semakin sering muncul dalam diskusi politik di Indonesia. Kata-kata seperti “demokrasi”, “transparansi”, atau “good governance” menjadi bagian dari kosakata politik sehari-hari, menunjukkan bagaimana konsep-konsep politik global diadopsi dan disesuaikan dengan konteks lokal. Ini menandakan bahwa bahasa politik tidak lepas dari pengaruh luar, bagaimana proses adopsi dan adaptasi bahasa tersebut berlangsung.
Menjual Diksi tau Gagasan Genuin
Nampaknya sulit memisahkan antara gagasan dan jualan diksi. Keduanya berkelindan dalam satu performa politisi yang handal dalam mengekspresikan public speaking nya di depan Masyarakat. Akankah diksi yang eksotis bisa menjadi daya Tarik public selamanya, tentu hal itu jika dibarengi dengan daya implementasi program di kemudian hari yang dapat terbukti. Begitu juga gagasan genuine dapat teruji dengan baik jika hal itu diikuti dengan sikap berani seorang pemilik gagasan dalam melakukan eksekusi dari apa yang sudah disampaikannya.
Politik kekinian memaksa public untuk memahami karakteristik kepemimpinan para calon dari apa yang mereka sampaikan. Karena jejak digital akan menjadi komparasi data dan penghakiman abadi atas konsistensi dan inkonsistensi individu antara penyampaian gagasan di masa lalu dengan implementasi gagasan di masa kini.
Lalu, apa yang menjadi harapan public atas kontestasi hari ini? Tentu, public sebagai penyimak atau penikmat atas euphoria kepolitikan kini, mesti memiliki daya rekam kuat bagaimana calon pemimpin masa depan memiliki kekuatan dalam memertahankan gagasan genuine yang dibalut dengan diksi eksotis untuk dapat beringinan dengan program-program implemntatif. Tugas Masyarakat adalah mengawal dan mendampingi atas terselenggaranya tata kelola pemerintahan yang berpihak kepada rakyat dan melakukan program berkelanjutan. Jangan sampai diksi menjadi fiksi.
Nanan Abdul Manan
Akademisi Universitas Muhammadiyah Kuningan