Hitam Putih Secangkir Kopi Politik, Tergantung Selera!

Kangnanan.com – SEJENAK kita lepaskan cerita hiruk pikuk politik di Kabupaten Kuningan. Saatnya meregangkan otot-otot kaku, melakukan relaksasi pikiran, menyatu dengan alam dan tentu ada secangkir kopi yang mensugesti dalam melahirkan inspirasi. Secangkir kopi bukanlah sekedar tuangan bubuk dari biji kopi pilihan, tidaklah sekedar pertemuan air dan serbuk kopi yang menghasilkan aroma estetis.

Tapi kopi sudah menjadi symbol persahabatan; tentang sang bening (air) dengan sang hitam (kopi) ternyata pada momen strategis bisa berkolaborasi untuk memproduksi cita rasa kopi yang memikat para pecinta. Itu lah kopi yang penuh kebanggaan menjadi minuman legenda dan terus mem-fanatik kepada generasi-generasi, meski tercatat sudah sangat tua ceritanya, setidaknya abad ke 15 telah dikenal, namun ia tetap menjadi minuman pemersatu jiwa-jiwa yang rindu kebersamaan.

Dari secangkir kopi itulah kita dihantarkan pada cerita ringan tentang Kuningan yang sebentar lagi menggelar pesta demokrasi, pemilihan Kepala Daerah. Momentum pemilukada biasanya menyuguhkan berbagai adegan drama orkestra yang tak lazim ditayangkan pada masa-masa sebelumnya.

Dalam drama itu akan hadir sosok yang bijak, sosok yang seakan dekat dengan masyarakat, penuh perhatian, mudah dihubungi, gercep membaca dan membalas pesan di whatsapp, di Instagram tampil begitu memukau, di tik tok dipaksakan untuk menjadi influencer dan tampil kekinian, ramah menyapa kepada siapapun meski kita tidak mengenalnya bahkan seakan apresiasi tinggi jika kita menyampaikan gagasan sekecil apapun bahkan tidak berarti sebenarnya bagi sang calon tentang cerita itu.

Akan tetapi, demi terselenggaranya adegan drama yang maksimal, maka para pemeran dipaksa untuk berperan sesuai skenario atas perintah para sutradara. Itulah tanda-tanda kita sedang berada pada pesta demokrasi. Karena pesta adalah euphoria maka happiness adalah symbol yang mesti dimunculkannya bukan ketegangan yang menjadi penghalang. Let’s enjoy it!.

Hari ini, setidaknya kita telah melihat ada tiga pasangan calon yang akan memeriahkan pesta demokrasi Kuningan. Karena belum ada nomor urut, jadi saya disclaimer bahwa penyebutan nama di awal maupun diakhir tidak memiliki tendensi politik apapun.

Pertama, ada pasangan Ridho-Kamdan, Dian-Tuti, dan Yanuar-Udin. Dalam pandangan penulis, ketiga paslon ini dapat menjadi representasi preferensi warga Kuningan. Karena setiap perhelatan pemilukada sering muncul simbol-simbol di kalangan Masyarakat yang diciptakan oleh para creator masing-masing paslon. Simbol itu bisa sebagai religius, merakyat, cerdas, muda, humanis, bersih, dan penciri lainnya untuk men-tag diri agar public mudah mengingat.

Ketiga pasangan calon ini tentu secara alamiah ada kelebihan dan kekurangan. Akan tetapi, ada satu persepsi yang dibangun di mata publik, yakni incumbent dan bukan incumbent. Jika Ridho dan Dian keduanya pernah menduduki struktural, maka kedua pasangan inilah yang disematkan sebagai incumbent, sementara pasangan lainnya (Yanuar-Udin) menamai dirinya sebagai orang baru.

Jualan sederhananya adalah jika incumbent maka kelebihan yang dimilikinya adalah kepiawaian mereka dalam memahami masalah Kuningan dan akan paham pula bagaimana solusinya. Sementara kekurangan bagi incumbent adalah cibiran dan gorengan tentang kegagalan tata kelola pemerintahan daerah masa itu, maka akan disematkan kepada kedua pasangan ini, meskipun dalam beberapa forum, baik pasangan Ridho maupun Dian tetap mengelak, bahkan seakan ‘cuci tangan’ dari masalah itu. Lalu, jika kita berbicara pasangan baru yaitu ‘Yanuar-Udin’, memiliki kelebihan dengan membangun asumsi bahwa Kuningan ‘butuh’ orang baru untuk menyelesaikan sengkarut masalah besar hari ini (gagal bayar, kemiskinan ekstrim, stunting, dll).

Orang baru ini bisa menjadi harapan baru untuk Kuningan lebih baik, itulah persepsi yang bisa dibangun di mata public. Akan tetapi, sisi lain kekurangannya tentu, orang baru yang tidak paham tata kelola maka akan terjebak pada pengulangan kegagalan masa lalu. Di samping itu, pasangan yang di katakan baru hanyalah persepsi sepihak, karena Yanuar juga sebagai Anggota DPR RI yang bisa ditracking rekam jejaknya dan Udin juga dapat dengan mudah bagaimana kinerja beliau saat di DPRD Kabupaten Kuningan.

Apakah keduanya mengindikasikan perubahan dalam sistem yang biasa menjadi luar biasa, hmmm, hanya public yang bisa menilainya.

Kembali ke secangkir kopi, bahwa kenikmatan berpolitik itu tidak terlepas dari kolaborasi air panas, serbuk kopi dan ditambah gula atau susu nya. Semakin adukan dan campuranya sesuai maka cita rasa berpolitik akan semakin tinggi. Cita rasa politik yang baik itu adalah jika luaran dari kebijakannya berasa di lidah dan hati Masyarakat sebagai penikmat racikannya.

Sehingga, sehebat apapun para politisi berargumen tentang bumbu dan takaran resep pembuatan kopi, jika para penikmat itu tidak menerima dan pas selera maka semua akan gagal. Karena selera kopi di lidah Masyarakat berbeda-beda, sehingga para eksekutif harus mampu memilih jenis kopi dan karakter penikmatnya yang sesuai.

Tidak semua kopi bisa dinikmati oleh setiap orang. Karena kopi memiliki ciri khas rasa berdasarkan pola tanam, kontur tanah, temperature daerah dan treatmen yang dilakukan oleh para petaninya. Sehingga, pembuat kopi harus melepas ego histori dirinya jika dia berniat menjadi public figure, karena rasa kopi enak untuk dirinya belum tentu enak juga bagi Masyarakat.

Pembuat kopi juga tidak harus baperan jika rasa kopi dikritisi oleh customer. Ada kalanya menurut pembuat kopi bahwa the real coffee adalah espresso, tapi bagi customer lain ternyata kopi dengan campuran gula aren yang dominan lebih lezat, begitu juga selera lainnya butuh tambahan susu agar lebih nikmat, dan bumbu lain yang harus dicampurkan agar para pelanggan tetap bisa Kembali untuk menikmati kopi di kedai kita.

Kedai-kedai kopi itu hadir sebagai partai-partai politik pengusung para pembuat racikan yang hari ini menjadi paslon. Pemilik kedai kopi memang ga harus pintar meracik kopi, tapi butuh seni untuk mempersiapkan peracik kopi yang mampu membuat cita rasa kopi yang pas di lidah rakyat, tidak sakit tenggorokan setelah meminumnya, atau sakit perut karena asam lambung yang tersengat karena racikan kopi yang kurang ramah.

Selamat menikmati kopi hangat dalam balutan sketsa Kuningan yang sejuk di bawah naungan Ciremai penuh inspirasi dan rupiah. Hmmm.**

Nanan Abdul Manan

Warga Kuningan yang Sedang Ngopi

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *