Kangnanan.com – Genealogi ‘Profesor’ sejatinya lahir dari rumah akademik. Rumah besar itu memproduksi insan-insan akademik yang dengan godongan kawah candradimuka yang tidak mudah. Parameter akademik yang menjadi perhatian tidak terlepas dari cara berfikir rasional, sistematis dan verifikatif.
Sehingga, pada tataran teknis, akademisi mengedepankan tindakan yang terukur dan mampu dipertanggungjawabkan secara etik maupun sosial. Dari kriteria itu maka lahirlah legitimasi dari Masyarakat atau Bahasa lainnya adalah penghormatan. Penghormatan itu semata lahir dari rekognisi publik dikarenakan faedah personal sebagai nilai turunan dari ‘khairunnaas anfauhum linnas’.
Professor menjadi terhormat dan memiliki legitimasi luar biasa di mata Masyarakat. Professor lahir tidak ujug-ujug tanpa melalui proses yang dilalui sesuai kriteria akademik. Predikat Profesor adalah sebutan tertinggi di level penghormatan paska dirinya mampu menemukan, mengaplikasikan, memertahankan keilmuannya, dan mendapatkan pengakuan oleh Masyarakat. Maka tidak heran jika Masyarakat memberikan kepercayaan penuh kepadanya untuk pemecahan berbagai persoalan publik. Etika yang dikedepankan dalam decision making menjadi pendekatan substansialnya. Maka dari dasar itulah takdziman watakriman (penghormatan tinggi) kepada Profesor berlimpah diberikan oleh Masyarakat.
Akan tetapi, fenomena itu kini ditangkap oleh kaum politisi oponturir. ‘Kegagahan’ identitas professor tidak saja bergeser akan tetapi telah direduksi oleh nilai-nilai pragmatis kepentingan tertentu. Dengan tangkapan persepsi kerdil, yaitu; demi meraih legitimasi instan, popularitas cepat, agar elektabilitas terkerek dalam hitungan waktu sesuai kebutuhan. Kini terma ‘profesor’ diperebutkan demi itu semua. Delegitimasi, desakralisasi dan langkah-langkah lain dipaksakan untuk mencapai professor yang mengakibatkan rendah nilai kepadanya. Gelar ‘profesor’ kini terkena aib setitik yang digeneralisasi kepada para ilmuan yang sudah tulus dalam ‘pertapaan’ akademiknya, keikhlasan dalam melahirkan nilai-nilai kehidupan untuk menciptaan manusia yang beradab, gagasan mulia untuk terus memberi manfaat atas eksistensi dirinya di Tengah hiruk pikuk kehidupan Masyarakat.
Niretika versus Pembangunan nilai
Ihwal beberapa kasus yang dilakukan oleh beberapa oknum, baik di Lembaga Pendidikan maupun institusi non pendidikan, menjadi sorotan publik tentang professor. Professor yang dipertanyakan atau yang dicibir tentu mereka yang di mata publik sungguh berat dalam pengakuan akademiknya akan tetapi secara tiba-tiba professor itu bisa disandang begitu saja. Netizen dengan mudah menghakimi seakan semua professor demikian, cara instan untuk mendapatkannya seakan-akan semua professor lain pun demikian. Para Profesor yang betul-betul sesuai prosedur dalam pencapaiannya dan dapat dipertanggungjawabkan ekpertise akademiknya tentu tidak mau melakukan counter di medsos atas info-info tidak berimbang dari netizen. Tentu, professor yang sesungguhnya memiliki cara lain untuk memberikan literasi akademik yang jauh lebih dewasa di forum-forum yang tepat.
Kebedaan kondisi yang terbelah secara diametral akhir-akhir ini adalah upaya para professor yang sudah mengikuti prosedur dalam pencapaian gelar ini di satu sisi dan professor ‘jadi-jadian’ di sisi lain. Profesor sesungguhnya adalah pribadi-pribadi yang mengedepankan etika akademik sementara professor ‘jadi-jadian’ adalah pribadi pragmatis dan bergerak otomatis untuk menjadi ‘sekan-akan’ seorang ahli.
Kondisi yang miris jika melihat sisi Profesor sesungguhnya adalah mereka sebagai gawang utama untuk menancapkan nilai-nilai moral, fondasi peradaban, dan teladan bagi Masyarakat. Namun, kini gelar akademik itu tercerabut oleh kepentingan tertentu yang membutuhkan legitimasi moral yang ada dalam diri professor. Nilai yang terbalik antara penegak dan perusak etika. Hal ini seakan topeng yang digunakan oleh seseorang untuk mampu memainkan karakter topeng itu akan tetapi digunakan oleh orang yang salah karena tidak memahami karakter topeng itu sendiri.
Profesor; Penyeimbang Masa Depan
Kehadiran professor sesungguhnya sebagai penyeimbang kehidupan. Apapun sebutan orang-orang yang berilmu, baik ilmu agama maupun ilmu umum; Profesor, Kyai, Ustad, Guru, dan sebutan-sebutan lainnya, merupakan identitas luhur yang sangat dikagumi Masyarakat/ummat/pengikut. Dalam segala percaturan kehidupan, dengan segala riuh rendahnya kepolitikan, masalah ekonomi, maupun sosial lainnya, sebagai penyeimbang dari semua itu dibutuhkan ketokohan yang mampu berfikir dan bertindak jernih dalam pengambilan Keputusan yang bijak untuk semua. Tindakan bijak itu tentu ada pada kaum akademik yang senantiasa melihat segala sesuatu dari sisi kemaslahatan untuk semua, tidak untuk kepentingan sepihak dan sesaat.
Penyeimbang dimaknai sebagai pribadi yang berani mengambil resiko atas keputusannya yang berdampak pada serangan kaum penguasa maupun pihak-pihak yang berkepentingan hanya untuk dirinya. Penyeimbang itu juga berwujud dalam perilaku kritis harmonis, kritis strategis, maupun kritis dinamis.
Ketiga karakter itu dapat dilihat dalam bentuk responsive seorang professor terhadap masalah-masalah public, memberikan tawaran Solusi, dan membersamai dalam melakukan eksekusi. Inilah ruh penyeimbang sesungguhnya. Karena professor lahir dari Rahim akademik, maka pendekatan akademik itulah sebagai sandaran utamanya. Diluar sandaran akademik, maka professor bukanlah professor, namun ia hanya sebatas ‘pengguna label’ yang akan diuji oleh Masyarakat.