Kangnanan.com – Berbicara politik tak pernah mengenal bahasa ‘usai’. Ia menjelma menjadi bahasan dinamis dengan narasi menarik di setiap zaman dan sesuai pelaku sebagai penentu drama kepolitikan itu sendiri. Meskipun secara teori umum, berpolitik pasti mengenal strategi dan taktik yang bisa dipelajari, akan tetapi teori itu tidak serta merta bisa difungsikan dengan baik secara otomatis.
Teori itu butuh diterjemahkan ke dalam ranah spesifik sesuai lokus dan kasus. Maka, kepiawaian dalam membaca situasi bagi seorang yang ‘berani’ memilih di jalur politik menjadi keharusan. Saking dinamisnya, gerak politik melebihi kecepatan waktu yang kita lalui, begitulah kebanyakan orang berseloroh demikian. Sehingga, politisi yang handal pasti diidentikan dengan sikap yang santai, mampu mengendalikan emosi, siap disalip dan menyalip, bahkan yang tidak kalah penting adalah memiliki jiwa petarung, siap bertarung sampai titik darah penghabisan.
Dalam konteks politik kekinian, baik nasional maupun daerah. Alur sejarah kepolitikan tetap mengikuti siklus yang sama seperti perjalanan politik-politik sebelumnya. Politik akan selalu diwarnai dengan konflik, keterpurukan suatu rezim, lalu hadir satrio piningit, hadir generasi penikmat, dan berakhir generasi perusak sebagai akhir dari siklus ini. Lalu siklus berikutnya akan hadir lagi sebagai generasi perintis, membangun fondasi peradaban yang lebih beretika dengan segala kebaruan dari model politik sebelumnya, dan terus menerus sesuai tahapan baku.
Beberapa tahun terakhir, kita telah menyaksikan transformasi signifikan dalam dunia politik Indonesia. Reformasi yang membawa angin segar demokrasi di era pasca-Orde Baru kini telah menghadapi tantangan tersendiri. Salah satu fenomena yang kian mencolok adalah munculnya political fatigue, atau kelelahan politik, di kalangan masyarakat Indonesia. Kontestasi pemilihan presiden dan wakil presiden dengan segala dinamika sensasional, drama partai politik yang terus terjadi putus nyambung dalam koalisi menjadikan hiruk pikuk di kalangan Masyarakat, menyita perhatian dan melelahkan untuk diamati. Sehingga, kelelahan itu menjadi fenomena kini atau Bahasa lainnya yaitu political fatigue.
Apa Itu Political Fatigue?
Political fatigue adalah kondisi di mana masyarakat merasa lelah, jenuh, dan tidak antusias terhadap isu-isu politik. Fenomena ini terjadi ketika warga negara merasa bahwa keterlibatan politik tidak memberikan perubahan berarti atau malah menimbulkan konflik yang berlarut-larut. Dalam konteks demokrasi Indonesia, yang penuh dinamika dan sering kali diwarnai dengan polarisasi politik, political fatigue menjadi relevan dan makin nyata.
Adapun beberapa penyebab Meningkatnya Political Fatigue di Indonesia, diantaranya; pertama, Polarisasi Politik yang Berkelanjutan. Polarisasi yang sangat terlihat, terutama selama dan setelah pemilu, telah membuat masyarakat terpecah dalam kubu-kubu ideologis yang sulit didamaikan. Pemilu presiden 2014 dan 2019 misalnya, meninggalkan warisan polarisasi pada masa-masa berikutnya cukup lumayan. Diskursus politik yang terjadi di media sosial sering kali bersifat antagonistik, penuh serangan pribadi, dan minim diskusi substantif, sehingga membuat banyak orang merasa jenuh.
Kedua, Overload Informasi dan Penyebaran Hoaks. Era digital mempercepat aliran informasi politik, tetapi juga membuat publik kewalahan. Masyarakat Indonesia terus dibombardir oleh berita politik, baik melalui media mainstream maupun media sosial, dengan informasi yang sering kali tumpang tindih. Penyebaran hoaks dan berita palsu semakin memperburuk keadaan, membuat warga sulit memisahkan antara fakta dan manipulasi. Hal ini mengakibatkan frustrasi dan apatisme terhadap isu-isu politik.
Ketiga, Janji Politik yang Tidak Terpenuhi. Dalam sistem demokrasi, politik adalah arena harapan dan janji. Namun, ketika janji-janji politik terus-menerus tidak terpenuhi, kekecewaan masyarakat semakin menumpuk. Banyak warga yang merasa bahwa suara mereka tidak berdampak signifikan pada perubahan kebijakan. Kelelahan politik ini berujung pada sikap skeptis terhadap politisi dan partai-partai yang ada.
Dampak Political Fatigue pada Demokrasi
Fenomena political fatigue memiliki dampak langsung terhadap kualitas demokrasi. Ketika warga semakin apatis terhadap proses politik, partisipasi dalam pemilu dan kegiatan politik lainnya bisa menurun. Demokrasi yang sehat membutuhkan partisipasi aktif dan keterlibatan warga negara dalam proses pengambilan keputusan. Jika political fatigue terus meningkat, dikhawatirkan hal ini dapat menurunkan legitimasi institusi politik dan memperkuat oligarki politik, di mana kekuasaan politik hanya berputar di lingkaran elite tertentu.
Mengatasi Political Fatigue
Untuk mengatasi political fatigue, perlu adanya perbaikan sistemik dalam berbagai aspek politik. Pertama, penting untuk mengurangi polarisasi politik dengan mendorong diskusi yang lebih inklusif dan berorientasi pada solusi. Media, sebagai pilar demokrasi keempat, harus memainkan peran penting dalam menyediakan informasi yang akurat dan berimbang serta menghindari sensasionalisme yang memperburuk polarisasi.
Kedua, pendidikan politik perlu ditingkatkan, terutama dalam memberikan pemahaman yang mendalam mengenai hak-hak warga negara dan cara efektif untuk berpartisipasi dalam demokrasi. Hal ini dapat membantu membangun kembali kepercayaan warga terhadap proses politik dan meningkatkan partisipasi mereka.
Ketiga, politisi dan partai politik harus memperlihatkan komitmen yang nyata dalam memenuhi janji-janji kampanye mereka. Akuntabilitas dan transparansi dalam pemerintahan harus ditegakkan, agar warga merasa bahwa suara mereka memang berdampak pada perubahan positif.
Political fatigue adalah tantangan yang nyata bagi perkembangan politik di Indonesia. Demokrasi yang sehat membutuhkan partisipasi aktif dari warga negara, tetapi kelelahan politik yang melanda dapat mengancam masa depan demokrasi itu sendiri.
Oleh karena itu, diperlukan upaya bersama dari semua pihak—baik pemerintah, partai politik, media, maupun masyarakat luas—untuk membangun kembali kepercayaan dan meningkatkan kualitas dialog politik di Indonesia. Dengan demikian, Indonesia bisa terus berkembang menuju demokrasi yang lebih matang dan inklusif.
Nanan Abdul Manan
Akademisi Universitas Muhammadiyah Kuningan