Kebahagian adalah cara pandang individu; jika terpenuhinya keinginan, ketika dalam situasi kemenangan, bisa mengalahkan orang lain, ketercukupan duniawi, dan sederetan posisi hebat lainnya. Itulah definisi kebahagiaan pada lazimnya.
Kebahagiaan sejatinya tumbuh dan terjaga dalam qalb (hati) yang suci. Ia merupakan manifestasi akal, perilaku, dan feedback atas pemberian perlakuan terhadap orang lain. Kebahagiaan pula merupakan alasan individu setelah mereka melalui fase-fase kehidupan yang menjadikannya mampu mempertimbangkan sisi terpuji dan sisi tercela dalam setiap peristiwa kehidupan. Kebahagiaan menjadi definisi yang sangat terhegemoni oleh kondisi lahir dan bathin individu, tidak tunggal.
Banyak individu yang begitu keras upayanya untuk mencari kebahagiaan, ada pula individu yang rela menghabiskan segalanya hanya untuk meraih keahagiaan. Semua usaha individu akan dicurahkan hanya karena ingin memiliki kebahagiaan. Akan tetapi, apakah kebahagiaan itu adalah kebahagiaan sejati (true happiness) atau ternyata kebahagiaan semu (false happiness). Dua karakteristik kabahagiaan itu berselisih makna dan aksi sehingga seringkali kita sulit membedakannya.
Pemandu hidup kita ada pada ranah religiusitas kita. Agama yang kita anut adalah pemandu atau guide kita dalam menentukan arah atau life roadmap yang akan dilalui. Agama menjadi pencerah dalam kegelapan hati kita ketika mendefinisikan kebahagiaan. Akan tetapi, dalam ranah aktivitas keseharian, kita juga sering terjebak pada satu kondisi yang serba profan, serba nisbi, serba sesaat tapi menggiurkan. Pergesekan ide atau gagasan, perilaku manusia satu sama lain, ataupun perbandingan hasil kehidupan manusia satu dengan lainnya menjadikan definisi kebahagiaan seutuhnya kabur dan tidak bersandar pada nilai-nilai religious kita. Sehingga, pada akhirnya kebahagiaan begitu sederhana didefinisikan menjadi sebuah kondisi ketercukupan finansial, jabatan, pengakuan publik, dan kemenangan perhelatan hidup. kebahagiaan itu semakin sederhana nilai tapi mudah melepas dan mengelupas dari jati diri kita.
Dengan penyederhanaan definisi kebahagiaan hanya dengan perilaku-perilaku emosi sesaat, justru akan menjadikan kita rumit mencapai kebahagiaan sesungguhnya.
Jika kebahagiaan itu ada pada ranah rasa yang dilahirkan oleh hati yang suci, maka hakikatnya Allah lah yang menentukan rasa itu. Sang Pemiliki rasa itu adalah Allah, pencipta kita. Maka tatanan kehidupan yang dapat kita lalui untuk mencapai kebahagiaan adalah ketika kita patuh pada regulasi yang dibuat oleh Sang Pencipta ‘rasa’ itu sendiri.
Yang kita impikan, yang kita gapai, dan yang kita ingin genggam abadi adalah kebahagiaan yang bersumber dari ‘rasa’ sesungguhnya. Rasa sesungguhnya adalah yang lahir dari kejernihan hati dan pikiran berdasarkan pengkajian mendalam tentang kebaikan-kebaikan yang harus dilakukan individu kepada orang lain. Dari sekian banyak aturan agama, konsen dominan adalah bagaimana individu mampu dan terus berupaya untuk menjadikan dirinya sebagai pribadi yang memberi kebaikan kepada orang lain. Di sini poin utama kita untuk mengawal ‘rasa bahagia’ itu.
Dalam bukunya Bekal-bekal Menjadi Kekasih Allah-tenggelam dalam Samudra Hidayah, mereguk Segala Anugerah karya Syekh Abdul Qadir al-Jailani, beliau menyebutkan begini tentang kebahagiaan:
“jika engkau menginginkan kebahagiaan, maka jadilah tongkatku, hingga bisa kuketuk-ketuk nadi hawa nafsumu, tabiat, setan, musuh-musuhmu, serta kolega-kolega burukmu. Mohonlah pertolongan kepada Tuhanmu dalam menghadapi musuh-musuh ini. Si pemenang adalah orang yang bersabar menghadapinya, dan si pecundang ada;ah orang yang menyerah pada mereka. Petaka memang banyak, tetapi muara (rumah) nya hanya satu. Penyakit juga banyak, namun tabibnya hanya satu. Hai orang-orang yang sakit jiwa, pasrahkanlah dirimu pada seorang tabib. Jangan menuduh mereka atas apa saja yang ia lakukan padamu, karena dia lebih saying dengan kalian daripada kalian sendiri. Membisulah di hadapannya dan jangan sekali-kali membantahnya, niscaya kalian akan melihat segenap kebaikan di dunia dan di akhirat”.
Tulisan Syekh di atas menjelaskan kepada kita bahwa kebahagiaan harus dicapai melalui pembelajaran hati yang dipandu oleh seorang guru (tabib) yang akan membimbing kita dengan keluasan ilmu dan pengalaman ilmu nya. Akhir atau muara kehidupan kita adalah menyandarkan semua urusan kita kepada Allah swt setelah kita melakukan ikhtiar atau usaha maksimal.
Mari kita meluruskan tujuan kita menuju kebahagiaan hakiki melalui kerelaan hati melakukan perintah Allah dan menjauhi laranganNya. Core of implementation dari ajaran agama itu adalah memperlakukan orang lain semulia mungkin, memberi manfaat sebanyak mungkin, dan membantu sepenuh hati. Maka kebahagiaan hati akan hadir dalam kehidupan kita tanpa gangguan godaan sesaat.
Selamat menjalani hidup penuh kebahagiaan.