Kabur Aja Dulu Ketika Kaum Cendekia Ditinggalkan Negeri

“Kabur Aja Dulu”: Ketika Kaum Cendekia Ditinggalkan Negeri

Kangnanan.com – Pagi ini, sebuah frasa yang menggelitik hati dan logika saya muncul di halaman surat kabar Kompas, lembar Humaniora, Senin 14 April 2025 kategori Iklim Akademik dengan judul : Akademisi Amerika Pilih “Kabur Aja Dulu”. Frasa ini seperti aliran Listrik yang sudah terkoneksi dengan kondisi Masyarakat di Indonesia-negeri tercinta, gemah ripah loh jinawai, toto Tentrem kerto raharjo-kini masyarakatnya sedang gelisah dengan masa depan. Gelisah karena kondisi kekinian yang dianggap belum memberikan kepastian masa depan. Frasa ini juga menjadi simbol keresahan diam-diam yang mulai menggema, bukan hanya di kalangan masyarakat umum, tetapi juga dalam lingkup para akademisi—kaum cerdik cendekia yang seharusnya menjadi motor penggerak kemajuan suatu bangsa.

Fenomena ini bukan sekadar ejekan atau bentuk putus asa, melainkan ekspresi keprihatinan terhadap kondisi dalam negeri yang makin tidak menentu. Ketika ruang dialog semakin menyempit, kebijakan publik tidak lagi berbasis kajian ilmiah, dan keberanian intelektual kerap dibalas dengan intimidasi atau pengerdilan, maka tak heran bila sebagian dari mereka—yang seharusnya menjadi penjaga nalar bangsa—memilih diam, menjauh, bahkan meninggalkan tanah airnya.

Kegelisahan yang Bersuara: Saat Akademisi Merasa Tak Dihargai

Di banyak negara maju, akademisi ditempatkan pada posisi terhormat. Mereka menjadi mitra strategis dalam merumuskan arah pembangunan, pengambilan kebijakan, serta penjaga nilai-nilai kritis dan etik. Namun di Indonesia, geliat ini justru tengah menghadapi tantangan besar. Ketika kampus dikekang, ketika pemikiran kritis dituding sebagai ancaman, dan ketika suara ilmiah disangkal oleh keputusan populis, maka akademisi perlahan tapi pasti merasa tidak lagi memiliki rumah.

Ruang kebebasan berekspresi bagi kaum akademisi sering dimaknai sebagai symbol ketidaksetujuan kepeda pemerintahan atau bukti serangan kepada regime yang berkuasa. Padahal, kritikan akademisi adalah kontroling pemerintahan dari perspektif akademik. Penyelesaian permasalahan di birokrasi maupun politik harus menggunakan berbagai disiplin keilmuan yang bisa mendukung penemuan Solusi berikutnya. Sehingga, suara akademisi sangat krusial untuk diberikan ruang agar Pembangunan negeri akan terdukung secara menyeluruh dari berbagai lapisan Masyarakat.

Fenomena ini bukan sekadar soal kenyamanan bekerja atau kebebasan berekspresi, tetapi tentang hilangnya urgensi negara dalam menjadikan sains dan ilmu pengetahuan sebagai dasar pembangunan. Padahal, di tengah krisis global, disrupsi teknologi, hingga ancaman lingkungan, hanya bangsa yang berinvestasi pada ilmu dan pengetahuan yang akan bertahan dan berjaya. Penyelesaian masalah-masalah komplek tidak bisa diselesaikan hanya menggunakan satu ilmu dan metodologi saja. Terlebih aspek kebijakan yang berbasis politis justru akan berakibat fatal terhadap keberlanjutan tata kelola pemerintahan.

Pertanyaan mendasar yang patut kita renungkan bersama: siapa yang akan menjaga keberlanjutan pembangunan jika bukan kaum intelektual? Siapa yang akan merumuskan strategi pendidikan, ekonomi, kesehatan, hingga pertahanan yang berbasis data dan riset, jika para akademisi hanya dianggap pengganggu narasi tunggal? Sementara, semua kebijakan harus melalui landasan konseptual, proses yang terukur, hasil yang sesuai target, dampak yang terasa di level Masyarakat, dan evaluasi berkelanjutan. Prosedur demikian tentunya hadir dan hanya ada pada ranah akademisi yang secara disiplin menggunakan tahapan-tahapan sistematis.

Dalam dunia akademik, semua kebijakan idealnya diuji secara ilmiah: melalui kajian teoritis, riset lapangan, hingga diskusi multi-perspektif. Ketika seorang dosen, peneliti, atau guru besar menyampaikan kritik, itu bukan karena ingin menjatuhkan pemerintah, tetapi karena mereka memegang tanggung jawab moral untuk menyuarakan kebenaran. Tanggung jawab ini dibuktikan dengan cara penyampaian keilmuannya yang telah mereka pelajari, dan tentunya akan memberikan kritik jika implementasi program tidak selaras dengan hasil kajian yang biasa dilakukan oleh para akademisi itu.

Sayangnya, hari ini yang banyak kita lihat justru sebaliknya. Kritik akademik sering dianggap sebagai upaya melawan arus, bahkan melawan negara. Akibatnya, banyak yang memilih diam, atau lebih ekstrem: hengkang ke luar negeri di mana pemikiran mereka lebih dihargai, riset mereka didanai, dan ide-ide mereka disambut sebagai solusi, bukan ancaman.

Universitas: Lumbung Intelektual yang Tak Boleh Dikesampingkan

Universitas adalah benteng terakhir peradaban. Di sinilah lahir gagasan besar, penemuan penting, dan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur. Ketika universitas tidak lagi diberi ruang untuk tumbuh, maka kita sedang mengubur masa depan dengan tangan kita sendiri.

Jepang, Korea Selatan, Jerman, dan negara-negara Skandinavia adalah contoh bagaimana negara maju selalu memposisikan perguruan tinggi dan lembaga riset sebagai pusat inovasi dan pengambilan kebijakan. Mereka menyadari bahwa pembangunan yang berkelanjutan tidak bisa hanya bergantung pada kekuatan politik atau ekonomi, tetapi harus didukung oleh pengetahuan dan kecerdasan kolektif. Sebaliknya, di Indonesia, banyak kebijakan masih terjebak dalam pola uji-coba, trial and error, dan pendekatan pragmatis. Tanpa dukungan akademik yang kuat, pembangunan seringkali berjalan ugal-ugalan—berorientasi jangka pendek, tidak efektif, dan jauh dari kebutuhan riil masyarakat.

Kita tidak boleh membiarkan frasa “kabur aja dulu” menjadi semacam mantera pasrah dari kaum intelektual. Sebaliknya, negara harus hadir memastikan bahwa para akademisi mendapatkan ruang yang luas untuk berkontribusi tanpa rasa takut. Pemerintah harus menyadari bahwa kritik dari kampus bukan ancaman, tetapi vitamin yang menyegarkan arah kebijakan. Investasi terbesar sebuah bangsa bukan pada infrastruktur fisik semata, tetapi pada manusia yang berpikir. Ketika para pemikir dan pendidik diberi tempat, maka negara ini akan memiliki arah yang jelas, masa depan yang terang, dan daya tahan dalam menghadapi berbagai krisis.

Penutup: Saatnya Bangun Kembali Simfoni Ilmu dan Kebijakan

Kini saatnya kita bangun kembali sinergi antara ilmu dan kekuasaan, antara pemikir dan pembuat kebijakan. Akademisi tidak boleh ditinggalkan, karena merekalah penjaga akal sehat dan cahaya dalam kegelapan. Relasi kekuasaan dan keilmuan harus sejalan dalam upaya mendukung Pembangunan negeri secara berkelanjutan. Karena kekokohan infrasuktur yang dibangun akan mudah rapuh jika manusia yang ada di dalamnya tidak piawai untuk mengelola dan melestarikannya.

Ketakutan para penguasa ketika menghadapi akademisi dengan segala kritikannya mengindikasikan belum siapnya ia menjadi seorang pemimpin. Pemimpin senantiasa dihadapkan pada heterogennya pemikiran dan kompeksnya masalah. Sehingga, penting untuk mendengar dan berdiskusi dengan lintas keilmuan untuk menemukan Solusi konkrit.

Kebijakan pemerintah Amerika kini telah menyiratkan bahwa Donal Trump dengan segala kekuasaannya merendahkan peran serta akademisi yang begitu lama membangun negeri itu. Persepsi sepihak bahwa akademisi tidak terlalu memberi dampak terhadap kemajuan bangsa akan menjadi masalah besar di kemudian hari. Semakin akademisi tidak dihargai maka akan semakin rapuh sebuah regime itu sendiri.

Dalam konteks Indonesia, jika kita ingin Indonesia maju, berdaulat, dan berperadaban tinggi, maka kita harus mulai dari yang paling fundamental: menghormati ilmu, membuka ruang kritis di kampus, dan melibatkan akademisi dalam setiap pengambilan keputusan besar. Karena bangsa yang besar bukanlah bangsa yang kuat secara otot, tetapi bangsa yang kuat secara nalar.

Oleh
Nanan Abdul Manan
(Pemerhati Pendidikan)

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *