Optimisme Pendidikan di Indonesia: Merajut Etika dan Pengetahuan untuk Masa Depan

Kangnanan.com – Surat kabar dari berbagai sumber, sedang hangat memberitakan tentang seabad Pendidikan Tinggi Hukum. Catatan Sejarah perjalanan pendidikan hukum di Indonesia. Para ahli memberikan refleksi, evaluasi, kritik, optimisme sampai sikap pesimis terhadap fenomena Indonesia hari ini. Hiruk pikuk masalah Hukum; masalah yang menjerat pejabat, penguasa bahkan penyelenggara pemerintah dan penegak hukum itu sendiri, kini abai dari kepatuhan yang seyogyanya bahkan seharusnya mereka patuhi. Seperti memercik air didulang, para pengelola negara dan penegak hukum silih berganti terdampak kasus atas penyelesaian kasus pihak lain. Menjadi catatan buruk yang tak terelakkan dalam histori penegakan hukum di Indonesia tercinta ini.

Penulis tidak bermaksud membahas lebih dalam tentang masalah penegakan hukum maupun hukuman bagi mereka yang disobey terhadap hukum. Akan tetapi, penulis sedikit ingin menulis tentang fondasi nilai yang harus kita ingat dan saling ingatkan satu sama lain.

Dalam konteks Pendidikan di Indonesia, irisan berbagai berspektif dan latar belakang kebijakan pasti berdampak pada maju mundurnya Pendidikan itu sendiri. Jika hari ini kita melihat di Kabinet Merah Putih Prabowo dengan kebijakan pemecahan satu Kementerian (Kemendikbudristek) menjadi 3 kementerian (Kemendikdasmen, Kemendikti dan riset, dan Kementerian Kebudayaan). Besar harapan akan menjadi optimisme di masa mendatang. Dengan dispesifikasikannya menjadi 3 kementerian mudah-mudahan semangatnya tidak sekedar politik akomodatif, akan tetapi menjadi landasan visi besar Indonesia menjadi ‘macan asia’ dalam berbagai aspek termasuk bidang Pendidikan dalam hal ini.

Indonesia terus berangsur mengalami progress di bidang Pendidikan. Terlihat di bidang kurikulum dengan seabreg perubahan, peningkatan kompetensi guru, maupun infrastruktur baik fisik maupun digital. Hal ini menjadi modal kita untuk terus bergegas menyamai kemajuan negara-negara baik di Asia maupun di Dunia. Tentu, kekurangan di berbagai hal akan menjadi kesempatan kita agar melakukan continuous improvement. Landasan pacu kita harus sudah siap dan lari cepat adalah pilihan untuk menyamai negara lain atas ketertinggalan kita.

Perubahan regulasi maupun nomenklatur di setiap pemerintahan baru adalah sebuah pemandangan biasa. Karena masing-masing era menginginkan ada jejak kebijakan dan artefak Sejarah yang ingin dikenang. Namun, visi pengembangan Pendidikan di Indonesia tentu harus dilaksanakan secara berkelanjutan dan holistic. Berkelanjutan dalam konteks peningkatan dan pengembangan program hari ini yang tidak boleh terputus agar menjadi satu kesatuan utuh output dan outcome yang bisa kita lakukan refleksi dan evaluasi untuk perbaikan di masa mendatang. Sementara holistik adalah langkah strategis bagaimana Pendidikan Indonesia senantiasa mencakup landasan ‘kebhinekaan’ yang menjadi penciri Pendidikan di Indonesia. Berbicara Pendidikan Indonesia berarti kita berbicara tentang keanekaragaman agama, suku, ras, budaya, perspektif dan demografi. Berbicara perbedaan itu maka harus dibarengi dengan formula Pendidikan yang terus diperkuat agar terkoneksi antara nilai lokal dengan prinsip dasar Pendidikan Nasional. Di sinilah tugas besar kita sebagai bangsa besar dengan ribuan perbedaan yang harus bisa terkoneksi satu sama lain menjadi Pendidikan Indonesia yang bernilai.

Maka, fondasi yang harus diperkuat dalam kontek Indonesia menuju Negara Maju di bidang Pendidikan adalah integrasi Etika dan Pengetahuan. Perspektif Etika dalam filsafat adalah studi tentang nilai dan moralitas, khususnya mengenai apa yang dianggap benar dan salah. Etika mencoba mengidentifikasi prinsip-prinsip dasar yang dapat membimbing manusia dalam bertindak dan hidup secara baik. Sementara Pengetahuan dalam filsafat, atau epistemologi, adalah studi tentang apa itu pengetahuan, bagaimana kita memperoleh pengetahuan, dan batas-batas serta validitasnya. Dalam filsafat, etika sering dibahas dalam tiga cabang utama: etika normatif (mencari standar yang mengatur perilaku baik dan buruk), etika deontologis (kewajiban dan aturan), dan etika kebajikan (penekanan pada sifat dan karakter moral). Filsuf seperti Aristoteles, Kant, dan Mill menawarkan berbagai cara pandang etis: dari kebajikan pribadi, prinsip kewajiban, hingga hasil atau konsekuensi dari Tindakan. Begitu juga Filsafat mengkaji sumber pengetahuan, seperti persepsi, akal, intuisi, dan pengalaman. Teori pengetahuan berkisar dari empirisme (pengetahuan dari pengalaman), rasionalisme (pengetahuan dari akal), hingga skeptisisme (penolakan akan kepastian pengetahuan). Tokoh-tokoh seperti Plato, Descartes, dan Kant mengembangkan teori-teori yang berusaha mendefinisikan apa yang disebut pengetahuan dan bagaimana kita bisa memverifikasinya.

Ancaman Disintegrasi Etika dan Pengetahuan

Berbicara etika dan pengetahuan, para Filsuf Islam juga seperti Al-Farabi (872–950), Al-Ghazali (1058–1111), Ibn Sina (Avicenna) (980–1037), Ibn Rushd (Averroes) (1126–1198) tidak pernah sepi membahas konektivitas antara etika dengan filsafat, etika dengan pengetahuan, etika dalam konteks agama dan bahasan integrasi etika dalam ranah kehidupan lebih luas. Etika dan pengetahuan menjadi dua sisi yang tidak bisa dipisahkan dalam ranah kehidupan manusia. Tanpa keduanya atau salah satunya saja, maka keseimbangan tidak akan terjadi.

Dalm lokus Indonesia, etika dan pengetahuan menjadi landasan dalam pengembangan Pendidikan. Perkembangan teknologi dengan segala platform digitalnya telah berdampak pada perubahan perilku pengajar dan pembelajar. Perilaku itu Nampak dari degradasi nilai dalam Pendidikan, abai terhadap proses dan cenderung berbasis hasil. Tidak bermaksud menyalahkan konsep berbasis hasil, akan tetapi hasil itu harus ada sebagai rangkaian yang tak terputus dari tahapan awal dan proses yang terbimbing. Dunia digital memberikan pesan kepada kita bahwa masalah apapun dapat selesai dengan cara-cara yang instan. Itulah karakter mesin yang siap membantu urusan manusia. Sementara manusia itu sendiri harus menjadi decision maker dan  mampu mempertimbangkan atas segala hasil yang didapat oleh mesin itu.

Maka, etika dan pengetahuan tidak boleh terpisah dalam proses pengembangan system Pendidikan ke depan. Keduanya menjadi dasar nilai yang akan membimbing individu untuk mampu mengadaptasikan wawasan masa lalu saat dia belajar dengan fenomena kekinian yang ia hadapi. Keterampilan praktis dan spesifik dapat menyelesaikan satu urusan hari ini dan sesuai kasus. Akan tetapi, tujuan utama Pendidikan kita tidak sekedar individu yang mampu menyelesaikan satu kasus dengan formula yang sama. Mereka harus melakukan improvisasi atas perubahan era dan perbedaan masalah untuk bisa diselesaikan dengan baik.

Di sinilah kita menyadari bahwa perspektif nilai religious harus berkelindan dalam softskill yang dibutuhkan untuk menyongsong Indonesia Emas 2045. Fondasi agama yang melahirkan etika, fondasi pengalaman yang melahirkan pengetahuan, harus hadir dalam satu sistem softskill yang terintegrasi dalam diri generasi hari ini dan mendatang. Optimisme pendidikan di Indonesia sangat bergantung pada integrasi etika dan pengetahuan dalam kurikulum. Etika memberikan landasan moral yang kuat bagi siswa untuk menjadi individu yang bertanggung jawab dan berintegritas, sedangkan pengetahuan yang relevan dan berkualitas mempersiapkan mereka untuk menghadapi tantangan dunia modern. Dengan membangun generasi yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga beretika, kita dapat mewujudkan pendidikan yang holistik dan berkelanjutan, sehingga menciptakan masyarakat yang sejahtera dan beradab di masa depan.

Nanan Abdul Manan

Akademisi Universitas Muhammadiyah Kuningan

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *