Kangnanan.com – PERKEMBANGAN kecerdasan artifisial (artificial intelligence/AI) dalam beberapa tahun terakhir melaju dengan kecepatan yang sulit dibayangkan sebelumnya. Layanan publik mulai mengandalkan sistem berbasis AI untuk memproses data dan memberikan respons cepat. Dunia bisnis memanfaatkannya untuk memetakan perilaku konsumen dan memproyeksikan tren pasar. Pendidikan pun tidak luput, dengan hadirnya platform pembelajaran adaptif yang mampu menyesuaikan materi sesuai kemampuan siswa.
Kehadiran AI menawarkan kemudahan dan efisiensi, tetapi juga menimbulkan pertanyaan mendasar: sampai sejauh mana manusia menyerahkan sebagian perannya kepada mesin? Pertanyaan ini tidak hanya bersifat teknis, melainkan juga menyentuh ranah filosofis.
Secanggih apa pun algoritma yang dibangun, AI tetaplah karya manusia yang beroperasi di dalam kerangka logika dan data yang tersedia. Ia mampu mengolah jutaan informasi dalam hitungan detik, tetapi seluruh proses itu berlangsung tanpa kesadaran diri. AI tidak memiliki pengalaman hidup, tidak memiliki sejarah personal, dan tidak mampu mengaitkan keputusan dengan rasa tanggung jawab moral.
AI dapat mengenali wajah melalui ribuan titik data yang dianalisis, tetapi tidak memahami cerita di balik kerutan mata seorang guru yang lelah atau senyum seorang murid yang menutupi kesedihan. Ia dapat menganalisis intonasi suara, tetapi tidak merasakan getaran emosi di balik kata-kata yang terucap. AI mampu memprediksi pilihan seseorang berdasarkan pola perilaku, tetapi tidak memahami alasan emosional yang mungkin melampaui logika.
Dalam interaksi pendidikan, keterbatasan ini menjadi signifikan. Mesin dapat memberi penilaian numerik terhadap hasil ujian, tetapi tidak dapat menafsirkan makna perjuangan seorang siswa yang tetap hadir ke sekolah meski harus berjalan berkilometer dalam hujan. AI dapat memberi saran strategi belajar berdasarkan data, namun tidak dapat memutuskan kapan seorang murid butuh pelukan kata-kata atau sekadar didengarkan tanpa dihakimi.
Lebih jauh, AI tidak memiliki kemampuan untuk berempati secara autentik. Empati bukan sekadar meniru respons emosional, tetapi merasakan dari dalam, dengan kesadaran bahwa kita berbagi kemanusiaan yang sama. Inilah ruang yang tidak bisa dijangkau oleh kode pemrograman. AI dapat memproses bahasa manusia, namun tidak bisa benar-benar “menghidupi” bahasa itu dengan makna yang lahir dari pengalaman batin.
Oleh sebab itu, meski AI semakin cerdas secara teknis, ia tetap berada di wilayah mekanis. Yang membuat manusia berbeda bukanlah kecepatan menghitung atau menyimpan informasi, tetapi kemampuan untuk menautkan pengetahuan dengan nurani, memaknai peristiwa secara personal, dan memilih tindakan bukan hanya karena “tepat” secara logis, tetapi juga “benar” secara moral.
Growth Mindset dan Pembelajaran Mendalam
Teori Growth Mindset yang diperkenalkan Carol Dweck menegaskan pentingnya keyakinan bahwa kemampuan dapat berkembang melalui upaya dan strategi yang tepat. Keyakinan ini, dalam praktik, sering kali ditanamkan dan dipelihara oleh guru. AI mungkin dapat memberikan umpan balik cepat terhadap hasil belajar, tetapi tidak bisa menguatkan mental murid ketika mereka merasa tidak mampu atau kehilangan motivasi.
Pendidikan sejati-yang hati ini sedang digaungkan oleh Kemendikdasmen- terus berupaya melampaui transfer pengetahuan menuju pembelajaran mendalam (deep learning). Pembelajaran mendalam mencakup tiga pilar utama:
Pembelajaran berkesadaran, di mana guru dan murid hadir sepenuhnya dalam proses belajar, memahami tujuan dan makna dari setiap aktivitas yang dilakukan.
Pembelajaran kebermaknaan, yang mengaitkan materi pelajaran dengan kehidupan nyata, sehingga siswa memahami relevansi ilmu dengan konteks sosial, budaya, dan masa depan mereka.
Pembelajaran yang menggembirakan, yang menciptakan suasana positif, rasa ingin tahu, dan antusiasme, sehingga belajar menjadi pengalaman yang dinantikan, bukan beban.
Ketiga prinsip ini membutuhkan sentuhan manusia. AI dapat membantu menyajikan materi dengan cara yang menarik, tetapi kepekaan dalam menciptakan suasana, membaca dinamika kelas, dan menumbuhkan rasa memiliki terhadap proses belajar hanya dapat dilakukan oleh guru yang hadir secara utuh.
Empat Pilar Keutuhan Manusia: Olah Hati, Olah Pikir, Olah Rasa, dan Olah Raga
Lebih lanjut sesuai kebijakan Pembelajaran Mendalam yang digaungkan oleh Kemendikdasmen Adalah Empat Pilar Keutuhan Manusia. Pendidikan yang sejati tidak hanya membentuk kecerdasan intelektual, tetapi juga menumbuhkan keutuhan manusia. Keutuhan itu terwujud ketika empat dimensi utama—olah hati, olah pikir, olah rasa, dan olah raga—dikelola secara seimbang. Tanpa keseimbangan ini, pendidikan akan kehilangan arah, dan manusia hanya akan berkembang secara parsial.
Olah hati adalah latihan batin untuk menumbuhkan nilai-nilai moral dan spiritual. Ia mengajarkan manusia membedakan yang benar dari yang salah, mengendalikan ego, dan menumbuhkan keikhlasan. Dalam pendidikan, olah hati membentuk guru yang sabar, siswa yang berempati, dan lingkungan belajar yang berlandaskan saling menghormati. Tanpa olah hati, pengetahuan hanya menjadi alat untuk kepentingan diri, bukan untuk kemaslahatan bersama. Olah hati adalah pusat kompas moral yang mengarahkan semua keputusan, termasuk saat teknologi menawarkan kemudahan yang harus ditimbang dengan etika.
Olah pikir mengasah kecerdasan rasional, kemampuan analisis, logika, dan kreativitas. Ia melatih manusia untuk memecahkan masalah, menemukan solusi baru, dan mengembangkan pengetahuan. Di era kecerdasan artifisial, olah pikir menjadi pondasi agar manusia tidak sekadar menerima informasi mentah, tetapi mampu memeriksa kebenaran, memaknai data, dan mengambil keputusan yang tepat. Namun, olah pikir yang tidak dibarengi olah hati berpotensi menjerumuskan manusia pada kecerdasan tanpa kebijaksanaan.
Olah rasa membentuk kepekaan emosional dan estetika. Ia melatih manusia merasakan keindahan, memahami perasaan orang lain, dan menghargai perbedaan. Olah rasa juga membangun kemampuan empati—menempatkan diri di posisi orang lain, bukan sekadar memahami dari jauh. Dalam pendidikan, olah rasa membantu guru memahami murid sebagai individu unik, sementara bagi siswa, ia menumbuhkan kepekaan terhadap kehidupan di sekitarnya. Tanpa olah rasa, pembelajaran menjadi kering, mekanis, dan kehilangan makna kemanusiaan.
Olah raga menjaga kesehatan jasmani, disiplin, dan daya tahan fisik. Tubuh yang bugar mendukung proses belajar dan bekerja yang optimal. Lebih dari itu, olah raga mengajarkan sportivitas, kerja sama, dan daya juang—nilai-nilai yang relevan dalam kehidupan sosial. Kesehatan fisik yang baik memberi ruang bagi hati, pikiran, dan rasa untuk bekerja harmonis.
Empat dimensi ini tidak dapat berdiri sendiri. Olah hati memberi arah moral, olah pikir memberi kecerdasan, olah rasa memberi kepekaan, dan olah raga memberi kekuatan fisik. Dalam pendidikan, keempatnya harus diintegrasikan agar lahir manusia yang utuh: cerdas, berkarakter, peka, dan sehat. Era AI menuntut manusia menjaga keseimbangan ini. Mesin dapat membantu olah pikir, tetapi tidak dapat menggantikan olah hati, rasa, dan raga. Oleh karena itu, pendidik dan pembelajar perlu terus merawat keempat pilar ini agar kemajuan teknologi tidak mengikis kemanusiaan, melainkan memperkuatnya.
Kolaborasi yang Sehat antara AI dan Manusia
Di tengah derasnya arus perkembangan kecerdasan buatan (AI), muncul pertanyaan mendasar: apakah mesin akan menggantikan manusia, atau justru menjadi mitra yang memperkaya peran manusia? Jawaban yang bijak terletak pada kata kolaborasi. Bukan dalam arti bersaing, tetapi saling melengkapi; bukan tentang siapa yang lebih pintar, melainkan bagaimana menggabungkan keunggulan masing-masing untuk kemaslahatan bersama.
AI unggul dalam kecepatan, ketepatan, dan konsistensi. Ia dapat mengolah data dalam skala yang mustahil dilakukan manusia, mengidentifikasi pola dari jutaan variabel, dan memberikan rekomendasi berbasis bukti. Namun, mesin ini tidak memiliki intuisi, empati, atau kemampuan untuk menimbang nilai-nilai moral di balik sebuah keputusan. Di sinilah letak peran manusia yang tak tergantikan: memberi makna, mengaitkan data dengan konteks sosial, dan memastikan bahwa teknologi digunakan demi tujuan yang luhur.
Kolaborasi yang sehat antara AI dan manusia memerlukan kesadaran akan batas masing-masing. Manusia perlu memanfaatkan AI sebagai alat untuk memperluas kapasitas berpikir, bukan sebagai pengganti keputusan akhir yang memerlukan pertimbangan etis. Sebaliknya, AI harus dirancang agar transparan, akuntabel, dan adaptif terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang berlaku di masyarakat. Dalam pendidikan, kolaborasi ini bisa berarti guru menggunakan AI untuk menganalisis kebutuhan belajar murid secara personal, sehingga strategi pengajaran lebih tepat sasaran. Namun, interaksi tatap muka, pembinaan karakter, dan penyemaian nilai-nilai kehidupan tetap dilakukan oleh guru. Dalam dunia kesehatan, AI dapat membantu dokter mendiagnosis penyakit lebih cepat, tetapi keputusan perawatan yang mempertimbangkan kondisi emosional pasien tetap berada di tangan dokter. Kolaborasi yang sehat juga memerlukan literasi digital yang matang. Masyarakat perlu memahami prinsip kerja AI, potensi manfaatnya, dan risikonya. Dengan demikian, pengguna tidak hanya menjadi konsumen pasif, tetapi mampu mengarahkan teknologi sesuai kepentingan publik. Prinsip human-in-the-loop—yaitu selalu ada keterlibatan manusia dalam pengambilan keputusan—harus dijadikan standar.
Lebih dari itu, kolaborasi AI dan manusia yang ideal bersandar pada keseimbangan empat aspek kemanusiaan: olah hati untuk memastikan keputusan sarat integritas; olah pikir untuk menganalisis dan menafsirkan informasi; olah rasa untuk memahami dampak emosional pada individu dan masyarakat; serta olah raga untuk menjaga energi fisik dalam menghadapi perubahan. AI mungkin dapat mengoptimalkan tiga yang pertama secara teknis, tetapi hanya manusia yang dapat menghidupkannya dengan kesadaran utuh.
Akhirnya, AI adalah cermin dari niat penciptanya. Jika niat itu diarahkan pada kebaikan bersama, kolaborasi akan melahirkan inovasi yang memuliakan manusia. Namun, jika dibiarkan lepas dari kendali etika, AI dapat menjadi pisau bermata dua. Oleh karena itu, membangun relasi sehat antara manusia dan AI bukan hanya soal teknologi, tetapi juga soal kebijaksanaan—yakni kesanggupan untuk memimpin mesin, bukan dipimpin olehnya.
Penutup
Di tengah akselerasi teknologi yang kian cepat, kita dihadapkan pada dua pilihan: menjadi penonton yang terombang-ambing arus, atau menjadi nahkoda yang mengarahkan layar. Kolaborasi sehat antara manusia dan AI memberi kita peluang untuk memilih yang kedua—menjadi pengendali perubahan, bukan korbannya.
Optimisme harus menjadi bahan bakar. Sebab sejarah membuktikan, setiap lompatan teknologi selalu membuka ruang baru bagi kreativitas manusia. Yang dibutuhkan adalah keberanian untuk belajar, keluwesan untuk beradaptasi, dan kebijaksanaan untuk mengendalikan arah perkembangan. AI mungkin dapat memproses informasi lebih cepat, tetapi manusia-lah yang menetapkan makna dan tujuan dari setiap kemajuan itu.
Jika kita memadukan kecerdasan buatan dengan kecerdasan hati, maka akselerasi teknologi bukanlah ancaman, melainkan kendaraan untuk membawa kita menuju masa depan yang lebih manusiawi, inklusif, dan berkelanjutan. Kita bukan sekadar penumpang di kapal perubahan, kita adalah nakhoda yang menentukan pelabuhan akhir. Stay Growth Mindset!.
Oleh: Dr. Nanan Abdul Manan, M.Pd. (Wakil Rektor Universitas Muhammadiyah Kuningan)