Kangnanan.com – Perubahan pola kehidupan di berbagai lini berdampak pada pola respon individu terhadap lingkungan. Hal ini mengindikasikan bahwa cara pandang personal terhadap aspek-aspek kehidupan harus dilihat dari formula baru untuk memahaminya. Memahami dalam konteks permasalahan yang dihadapi dan bagaimana cara meresponnya menjadi suatu hal yang krusial. Perubahan gaya hidup kekinian tidak mungkin direspon dengan cara masa lalu yang dirasa telah sukses. Karena perubahan zaman akan menuntut manusia untuk menemukan cara baru dalam menghadapinya.
Dalam konteks akselerasi perubahan pola kehidupan kini salah satunya ditunjukkan oleh kemajuan berbagai piranti lunak yang berbasis Artificial Interlligence atau kecerdasan buatan. Kecerdasan buatan ini mengalami perkembangan yang sangat pesat. Berbagai urusan manusia kini didominasi oleh AI untuk penyelesainnya. Sehingga, manusia kini semakin hari semakin besar ketergantungannya kepada AI. Kontinjensi atau ketergantungan manusia terhadap AI ini boleh dikatakan wajar. Mengingat bahwa setiap manusia pada umumnya menginginkan kepraktisan dalam berbagai penyelesaian persoalan pekerjaanya. AI menjadi solusi praktis untuk bisa membantu urusan-urusan mereka. Namun, apakah cukup dengan menggunakan AI maka urusan berikutnya juga bisa diselesaikan. Tentu tidak.
Ada tantangan baru yang akan dihadapi oleh manusia jika terus-menerus menjadikan AI sebagai sumber utama informasi, sumber utama keputusan dan sumber utama gagasan. Manusia akan mengalami kecenderungan meninabobokan ‘otak’ dirinya. Critical thinking yang semestinya menjadi kegiatan otak sehari-hari melalui stimulus bacaan, tontonan, diskusi dan menulis, akan semakin berkurang. Lemahnya critical thinking dalam diri kita adalah ketika otak kurang atau bahkan jarang dilatih untuk berfikir. Kegiatan berfikir itu adalah upaya kita untuk terus melatih otak kita agar terus berkembang dan berkembang. Seperti kita ketahui bahwa secara struktur, otak memiliki kelenturan untuk bisa didesain sesuai kebutuhan kita. Dalam teori Growth Mindset, otak kita adalah neuro plasticity, saraf yang fleksibel seperti plastik, dapat dilenturkan dan dibentuk sesuai keinginan kita.
Jika otak sering dilatih berfikir; membaca, berdiskusi, berdebat, menulis, dan aktivitas analisis lainnya, maka otak akan semakin mengembang. Ketika otak berkembang maka fasilitas semakin meluas di otak kita, ketika fasilitas otak semakin berkembang maka otak akan dengan mudah menjawab dan merespon stimulus-stimulus yang diterukan di lingkungan sekitar. Sehingga, perkembangan otak tersebut akan semakin baik dalam merespon, menganalisis, memberikan pertimbangan dan mengambil keputusan. Semakin sering melakukan Latihan pada otak maka akan semakin kuat pula daya reflect otak untuk berfikir cepat.
Sementara, jika otak kita kurang atau bahkan jarang dilatih berfikir, maka otak tidak berkembang. Indikasi otak tidak berkembang adalah ketika terjadi kesulitan dalam berfikir. Kesulitan untuk menyimak permasalahan, mengelola dan mengendalikan masalah menjadi pekerjaan berat jika otak kita tidak sering dilatih. Maka, kondisi seperti ini, seseorang dapat disebut sebagai Fix Mindset. Pola pikir yang menetap. Cara-cara yang dilakukannya senantiasa ditutup oleh alasan untuk enggan melakukan kebaruan, menutup daya kritis, dan menghalangi pikiran kreatif. Pribadi yang memiliki Fix Mindset senantiasa melihat sesuatu sebagai ketidakmungkinan, masalah besar, resiko besar, dan sulit terwujud. Pilihan mereka hanya jalan di tempat dan tidak melakukan perubahan apapun.
Persiapan hidup di Era Kini dan Nanti
Lalu, bagaimana kita melihat segala perkembangan kekinian yang begitu pesat dengan suplemen utama adalah teknologi. Perang teknologi, perang ekonomi, dominasi negara raksasa, inflasi menggila, lapangan pekerjaan makin sulit, rupiah makin melemah, penyakit psikologis makin meningkat, dan seabreg masalah lainnya yang selalu menghiasi kehidupan kita. Jawabannya adalah kita harus berdamai dengan semua perubahan itu. Berdamai dengan perubahan bukan dalam arti bahwa kita kalah atau mengalah terhadap keadaan, berdamai juga bukan berarti kita hanya diam dan bertahan. Akan tetapi, berdamai adalah cara kita untuk siap menyadari perubahan, belajar dari perubahan, tingkatkan kompetensi dan skill untuk menghadapi perubahan, dan membangun komunitas bisnis yang berkelanjutan.
Hidup di tengah pusaran teknologi dan kecerdasan buatan menuntut manusia untuk memiliki bekal lebih dari sekadar pengetahuan teknis. Kompetensi yang dibutuhkan kini dan nanti jauh lebih kompleks dan menyentuh aspek berpikir, bersikap, dan bertindak secara sadar. Salah satu kompetensi utama yang harus terus dilatih adalah kemampuan berpikir kritis (critical thinking). Dalam arus informasi yang sangat cepat dan masif, kemampuan untuk menganalisis, mengevaluasi, dan menyaring informasi menjadi kunci untuk mengambil keputusan yang bijak dan bertanggung jawab.
Selain itu, kemampuan beradaptasi (adaptability) menjadi sangat penting. Di era yang serba tidak pasti, individu yang fleksibel dan terbuka terhadap perubahan akan lebih mampu bertahan dan berkembang. Mereka tidak hanya menerima perubahan, tetapi juga mampu membaca arah perubahan dan menyesuaikan diri dengan cepat. Komunikasi efektif dan kolaborasi juga tak kalah penting. Di tengah derasnya digitalisasi, manusia justru semakin membutuhkan kemampuan untuk membangun koneksi interpersonal yang kuat, bekerja dalam tim lintas disiplin, dan menyampaikan gagasan secara empatik dan persuasif.
Tak kalah penting adalah kreativitas dan inovasi. AI mungkin mampu meniru dan menyusun ulang data, tetapi kemampuan manusia untuk membayangkan sesuatu yang belum pernah ada, merangkai ide dari hal-hal yang tampak tak berhubungan, dan melahirkan solusi dari keterbatasan adalah kekuatan yang tidak tergantikan. Sejalan dengan itu, manusia juga perlu menguasai literasi teknologi dan etika digital. Mengerti teknologi bukan hanya soal bisa mengoperasikan alat, tapi juga paham dampak sosial, budaya, dan moral dari penggunaannya.
Yang menjadi fondasi dari semua itu adalah growth mindset dan kemampuan belajar sepanjang hayat (lifelong learning). Dunia akan terus berubah, dan hanya mereka yang terus belajar, memperbarui diri, serta bersedia keluar dari zona nyaman yang akan mampu melangkah jauh ke depan. Inilah bentuk nyata dari neuroplastisitas: otak yang lentur, terus bertumbuh, dan siap menghadapi tantangan zaman dengan kesiapan dan kematangan.
Di tengah kemajuan pesat teknologi dan kecerdasan buatan, manusia dihadapkan pada pilihan penting: menjadi pengguna pasif yang perlahan kehilangan daya pikir, atau menjadi individu aktif yang terus melatih otaknya agar tetap tajam, lentur, dan adaptif. Neuroplastisitas memberi harapan bahwa otak kita bisa terus berkembang, selama kita bersedia melatihnya melalui kebiasaan berpikir, berdiskusi, menulis, dan belajar. AI boleh canggih, tetapi nilai manusia tetap terletak pada kemampuannya untuk merespon dengan akal, empati, dan kesadaran. Maka, menjaga daya pikir kritis bukan sekadar pilihan, melainkan keharusan agar kita tak hanya selamat dalam badai teknologi, tapi juga mampu menavigasi arah perubahan dengan bijak.