Surga Itu Mahal

Allah swt menjanjikan banyak pahala dalam setiap tantangan besar. Tantangan besar itu hadir dari perintah baik Allah kepada umat manusia. Jika surga itu merupakan satu tempat yang dijadikan tujuan bagi manusia beriman, maka surga itu harus dibeli dengan harga keimanan yang tidak murah. Mahalnya harga keimanan itu tidak mudah diganti dengan materi. Keimanan itu hadir dalam hati seseorang yang telah menyerahkan kehidupan sepenuhnya hanya kepada Allah, Tuhan semesta alam.

Jika berbuat tercela atau maksiat itu dilakukan dengan harga yang mahal dalam konteks materi, maka harga keimanan jauh lebih mahal dari materi yang kita keluarkan untuk membeli kemaksiatan itu. Seseorang yang dengan bangga mengeluarkan uang jutaan bahkan milyaran rupiah untuk bersenang-senang bersama wanita tuna susila sambil mabuk-mabukkan dan menghabiskan harta di meja perjudian, mereka sesungguhnya belumlah mampu membeli keimanan dirinya untuk sebuah janji Tuhan, yaitu kebahagiaan hidup nanti.

Surga Itu Mahal

Analogi di atas dapat kita pahami betapa sulitnya kita mempertahankan keimanan kita. Keimanan kita harus dibayar dengan keteguhan hati, ucapan tegas dan bertindak nyata sebagai prinsip hidup untuk melakukan nasehat-nasehat Tuhan dalam kitab suci-Nya. Keimanan dijelaskan dalam Hadits Nabi dengan tiga variabel penjelas; meyakinkan dalam hati, mengucapkan dengan lisan, dan melakukan dengan tindakan. Ketiga variabel itu merupakan satu kesatuan yang terintegrasi dan tidak dapat dipisahkan. Keselarasan antara hati, ucapan dan tindakan merupakan sikap manusia beriman. Keselarasan dalam ketiganya akan membuahkan hasil yaitu pribadi individu yang baik secara sosial dan baik pula secara individu kepada Tuhannya. Manusia beriman tidaklah cukup sebatas baik kepada Tuhannya dengan melaksanakan segala kewajiban beribadah siang dan malam. Namun, kebaikan seseorang dalam konteks sosial dengan saling tolong menolong dan menghargai merupakan kesempurnaan keimanan. Aplikasi aktivitas ibadah seseorang kepada Tuhannya harus dapat diimplementasikan dengan kebaikan dirinya kepada sosial. Begitu pula kebaikan dirinya dalam konteks sosial tidak akan berarti apa-apa jika tidak diimbangi dengan kepatuhan terhadap regulasi Tuhan dalam bukti melaksanakan ibadah ritual setiap saat.

Mahalnya surga bukan terletak pada sulit terjangkaunya oleh materi tetapi prinsip hidup manusia yang selalu tergoda dengan alasan-alasan hidup di luar nilai-nilai Ilahiyah.

Ibarat bermain layang-layang, seseorang yang hanya mengandalkan ibadah ritual kepada Tuhannya akan melayang-layang di atas namun tidak memiliki pijakan dan sambungan benang ke bawah, pada akhirnya layang-layang itu akan mengawang dan lepas talinya tanpa pemilik dan terhempas angin di angkasa tanpa bekas. Begitu pula bila hanya sebatas memiliki tali di bawah, maka layang-layang pun tidak bisa diterbangkan ke atas yang pada akhirnya tali layang-layang itu tidak memiliki guna sama sekali. Tali itu akan didiamkan dan tidak dapat difungsikan, disimpan di dalam lemari rumah kita karena tidak ada layang-layang yang bisa diterbangkan. Kekuatan komunikasi seseorang kepada Tuhannya dan kepada sesamanya akan menjadikan dirinya sebagai manusia paripurna.

Tafsiran ayat-ayat Tuhan dalam ibadah-ibadah ritual itu bila dapat dipahami adalah bagaimana seseorang senantiasa mampu menjadi pribadi yang baik di dalam pergaulan sosialnya. Pergaulan sosial yang dapat diciptakan dengan baik akan menghantarkan pula seseorang untuk lebih taat dan patuh kepada ajaran Tuhan dalam firman-firman-Nya itu. Jika meminjam bahasa Caknur, bahwa kesholehan sosial dan kesholehan individu merupakan dua variabel yang tidak terpisahkan untuk menuju manusia beriman. Keduanya harus berjalan beriringan dan tidak terpisahkan layaknya iman yang membungkus tiga variabel kekuatan tak terpisahkan (keyakinan hati, ucapan dan tindakan).

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *